Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat, terutama yang pada bagian viseral. Penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi, tapi ini bukan alasan tidak digunakannya dalam mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus nyeri kronis non-keganasan; pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi pasien sebaiknya dikaji setiap interval tertentu
EFEK SAMPING. Berbagai analgesik opioid memiliki banyak efek samping yang sama walaupun ada perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Yang paling sering, diantaranya mual, muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Overdosis, lihat Perawatan Darurat pada Keracunan.
INTERAKSI. Lampiran 1 (analgesik opioid) (penting: bahaya khusus pada interaksi dengan petidin dan mungkin juga opioid lain, dan dengan MAOI).
MENGEMUDI. Rasa mengantuk dapat mempengaruhi kemampuan kerja seseorang (misalnya mengemudi); efek alkohol diperkuat.
PILIHAN. Morfin tetap merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri berat walaupun sering mengakibatkan mual dan muntah. Morfin merupakan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgesik opioid lain. Namun selain menghilangkan nyeri, morfin juga menimbulkan keadaan euforia dan gangguan mental.
Morfin merupakan opioid pilihan untuk pengobatan oral nyeri berat pada perawatan paliatif. Obat diberikan tiap 4 jam (atau tiap 12 atau 24 jam sebagai sediaan lepas lambat).
Buprenorfin memiliki sifat agonis opioid maupun antagonis dan dapat memperburuk gejala putus obat, termasuk nyeri, pada pasien yang bergantung pada opioid lain. Buprenorfin berpotensi untuk disalahgunakan dan dapat menimbulkan ketergantungan. Buprenorfin memiliki lama kerja yang jauh lebih panjang dari morfin dan pemberian secara sublingual merupakan analgesik yang efektif untuk 6-8 jam. Kemungkinan timbulnya muntah dapat menjadi masalah. Tidak seperti kebanyakan analgesik opioid lainnya; efek buprenorfin hanya dapat dihilangkan secara parsial oleh nalokson. Kodein efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang, tetapi terlalu sering menimbulkan konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang.
Difenoksilat (dikombinasi dengan atropin, sebagai co-phenotrope) digunakan pada diare akut (lihat 1.4.3)
Dipipanon yang digunakan secara tunggal kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin, tetapi merupakan satu-satunya sediaan yang mengandung antiemetik dan oleh karena itu tidak sesuai sebagai regimen reguler pada perawatan paliatif.
Diamorfin (heroin) adalah opioid analgesik yang sangat kuat. Diamorfin dapat menyebabkan lebih sedikit mual dan hipotensi dibanding morfin. Pada perawatan paliatif kelarutan diamorfin yang lebih besar memungkinkan dosis efektif disuntikkan dengan volume yang lebih kecil dan hal ini penting pada pasien yang sangat kurus. Dihidrokodein memiliki khasiat analgesik mirip kodein. Dosis dihidrokodein per oral biasanya 30 mg tiap 4 jam, menggandakan dosis menjadi 60 mg dapat meningkatkan efek analgesiknya, tetapi mual dan muntah juga meningkat.
Alfentanil, fentanil, dan remifentanil biasanya digunakan melalui injeksi sebagai penghilang nyeri dalam intra-operasi; fentanil tersedia dalam sediaan transdermal seperti plester yang diganti setiap 72 jam. Meptazinol dinyatakan jarang menimbulkan depresi pernapasan. Lama kerjanya 2-7 jam dan mula kerja 15 menit.
Metadon kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin dengan masa kerja lebih lama. Pada penggunaan jangka panjang, metadon tidak boleh diberikan lebih dari 2 kali sehari untuk menghindari risiko akumulasi dan overdosis opioid. Metadon dapat digunakan sebagai pengganti morfin pada penderita yang mengalami reaksi eksitasi (atau eksaserbasi rasa nyeri) dengan morfin.
Oksikodon mempunyai khasiat dan efek samping yang mirip dengan morfin. Biasanya digunakan pada penanganan nyeri pada perawatan paliatif.
Pentazosin memiliki sifat agonis maupun antagonis dan memicu timbulnya gejala putus obat; termasuk nyeri pada penderita yang bergantung pada opioid lain. Bila disuntikkan efek pentazosin lebih kuat dibanding daripada dihidrokodein atau kodein, tetapi dapat timbul halusinasi dan gangguan pikiran. Tidak dianjurkan, dan khususnya sebaiknya dihindari oleh penderita pasca infark miokard karena obat ini meningkatkan tekanan darah aorta dan paru-paru; dan meningkatkan kerja jantung.
Petidin merupakan analgesik yang cepat tetapi bertahan hanya untuk waktu singkat; kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin; tetapi kurang kuat sebagai analgesik, bahkan dalam dosis tinggi. Tidak cocok untuk nyeri hebat yang berkepanjangan. Digunakan untuk analgesia dalam proses melahirkan; namun demikian, opioid lain seperti morfin dan diamorfin sering lebih disukai untuk nyeri obstetrik.
Tramadol bekerja sebagai analgesia melalui dua mekanisme yaitu efek opioid dan memacu jalur serotoninergik dan adrenergik. Memiliki efek samping khas opioid yang lebih sedikit (depresi napas, konstipasi, dan potensi kecanduan yang lebih sedikit). Telah dilaporkan terjadi reaksi psikiatrik.
DOSIS. Dosis opioid yang tercantum mungkin perlu disesuaikan sesuai masing-masing individu tergantung pada derajat penghilang rasa nyeri dan efek samping. Respon pasien terhadap analgesik opioid sangat beragam.
ANALGESIK PASCA BEDAH. Penggunaan opioid selama pembedahan mempengaruhi peresepan analgesik pasca bedah dan pada banyak kasus mungkin diperlukan penundaan penggunaan analgesik pasca bedah. Opioid pasca bedah sebaiknya digunakan secara hati-hati karena kemungkinan dapat memicu depresi pernafasan residual. Analgesik non opioid juga dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pasca bedah.
Morfin dan papaveretum digunakan paling luas. Tramadol tidak seefektif opioid lain untuk mengatasi nyeri hebat. Buprenorfin mungkin dapat melawan efek analgesik dari analgesik yang digunakan sebelumnya dan karenanya tidak direkomendasikan. Petidin dimetabolisme menjadi norpetidin yang dapat terakumulasi, terutama pada gangguan fungsi ginjal; norpetidin menstimulasi sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan kejang. Meptazinol jarang digunakan.
NYERI GIGI DAN MULUT. Analgesik opioid relatif kurang efektif pada nyeri gigi dan mulut. Seperti opioid lain, dihidrokodein sering menimbulkan mual dan muntah yang membatasi manfaatnya pada nyeri gigi dan mulut; jika digunakan sedikit lebih, dapat berpotensi menimbulkan konstipasi. Dihidrokodein tidak terlalu efektif dalam mengatasi nyeri gigi dan mulut pasca bedah. Petidin dapat digunakan per oral, namun untuk memperoleh efek optimal, perlu diberikan melalui injeksi. Khasiat dalam mengatasi nyeri gigi dan mulut pasca bedah tidak terbukti dan penggunaannya pada sekitar gigi dan mulut menjadi sangat sedikit. Efek samping petidin sama dengan dihidrokodein dan kecuali efek konstipasi, petidin lebih banyak menyebabkan efek samping lainnya.
PECANDU. Walaupun perlu hati-hati, pecandu (dan mantan pecandu) dapat diobati dengan analgesik dengan cara yang sama seperti orang lain bila kebutuhan klinisnya nyata.
Ketergantungan dan penghentian obat
Ketergantungan psikologi jarang muncul pada anak jika opioid digunakan untuk penanganan nyeri, tetapi toleransi dapat terjadi selama penggunaan jangka panjang, oleh karena itu obat sebaiknya dihentikan secara bertahap untuk menghindari gejala putus obat.