Obat antipsikosis juga dikenal sebagai `neuroleptik` dan secara salah diartikan sebagai trankuiliser mayor. Obat antipsikosis pada umumnya membuat tenang tanpa mempengaruhi kesadaran dan tanpa menyebabkan efek kegembiraan paradoksikal (paradoxical excitement) namun tidak dapat dianggap hanya sebagai trankuiliser saja. Untuk kondisi seperti skizofrenia, efek penenangnya merupakan hal penting nomor dua.
Pada penggunaan jangka pendek, digunakan untuk menenangkan pasien yang mengganggu apapun psikopatologi yang mendasarinya, bisa karena skizofrenia, kerusakan otak, mania, delirium toksik, atau depresi teragitasi. Obat antipsikotik digunakan untuk meredakan ansietas berat tetapi ini juga hanya untuk penggunaan jangka pendek. Hanya ada sedikit informasi tentang khasiat dan keamanan obat–obat antipsikotik pada anak–anak dan remaja, dan kebanyakan informasi yang tersedia merupakan ekstrapolasi data orang dewasa. Tidak mungkin membuat rekomendasi pengobatan untuk mengatasi gangguan psikosis, sindrom Gilles de Tourette dan autisme. Pengobatan pada kondisi seperti itu harus dilakukan hanya oleh dokter spesialis yang tepat.
Skizofrenia
Obat antipsikotik meringankan gejala psikotik florid (florid psychotic symptoms) seperti gangguan berpikir, halusinasi, dan delusi serta mencegah kekambuhan. Walaupun seringkali efektifitasnya lebih kecil pada pasien putus obat yang apatis, tetapi terkadang bermanfaat dalam memicu efeknya. Pasien dengan skizofrenia akut memberikan respon yang lebih baik daripada pasien dengan gejala kronik.
Pasien dengan diagnosis pasti skizofrenia, mungkin memerlukan pengobatan jangka panjang dengan tujuan untuk mencegah perubahan manifestasi penyakit menjadi kronik setelah episode pertama penyakit. Penghentian pengobatan membutuhkan pengawasan karena pasien yang menampakkan hasil yang baik terhadap pengobatan dapat mengalami kekambuhan yang lebih parah jika pengobatan dihentikan dengan tidak tepat. Kebutuhan untuk melanjutkan terapi tidak dapat terlihat dengan segera karena seringkali kekambuhan tertunda selama beberapa minggu setelah penghentian pengobatan.
Obat antipsikotik bekerja dengan menginterferensi transmisi dopaminergik pada otak dengan menghambat reseptor dopamin D2, yang dapat meningkatkan efek ekstrapiramidal seperti dijelaskan di bawah, serta efek hiperprolaktinemia. Obat antipsikosis dapat mempengaruhi reseptor kolinergik, alfa adrenergik, histaminergik, serta serotonergik. Pemilihan obat dipengaruhi oleh potensi efek samping dan sering dipandu berdasarkan kondisi perseorangan misalnya efek psikologis dari potensi penambahan berat badan. Obat yang sering digunakan pada anak adalah haloperidol, risperidon dan olanzapin.
Peringatan dan Kontraindikasi
Antipsikosis sebaiknya digunakan dengan hati–hati pada pasien dengan gangguan hati (lampiran 2), gangguan ginjal (lampiran 3), penyakit kardiovaskular, penyakit parkinson (dapat diperburuk oleh antipsikotik), epilepsi (dan kondisi yang mengarah ke epilepsi), depresi, miastenia gravis, hipertrofi prostat, atau riwayat keluarga atau individu glaukoma sudut sempit (hindari klorpromazin, perisiazin, dan proklorperazin pada kondisi ini). Perhatian juga diperlukan pada penyakit saluran napas yang berat dan pada pasien dengan riwayat jaundice atau yang memiliki riwayat diskrasia darah (Lakukan hitung darah jika timbul infeksi atau demam yang tidak diketahui penyebabnya).
Antipsikotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien lansia, terutama yang rentan terhadap hipotensi postural serta hipertermi atau hipotermi pada kondisi cuaca yang sangat panas atau dingin. Pertimbangan serius sebaiknya diberikan sebelum meresepkan obat ini pada pasien lansia. Fotosensitisasi dapat timbul pada dosis yang lebih tinggi, pasien sebaiknya menghindari paparan sinar matahari langsung.
Obat antipsikotik mungkin dikontraindikasikan pada keadaan tidak sadar (koma), depresi susunan saraf pusat, dan paeokromositoma. Sebagian besar antipsikotik lebih baik dihindari selama kehamilan, kecualli jika sangat diperlukan dan disarankan untuk berhenti menyusui selama menjalani pengobatan (lampiran 5) dan interaksi (lampiran 1).
Mengemudi
Mengantuk dapat mempengaruhi kemampuan dalam mengoperasikan sesuatu (misal mengemudi atau menjalankan mesin), terutama pada awal terapi, dapat meningkatkan efek alkohol.
Penghentian Obat
Penghentian obat antipsikotik setelah terapi jangka panjang sebaiknya dilakukan secara bertahap dan diawasi secara ketat untuk menghindari risiko sindroma putus obat yang akut atau kekambuhan yang cepat.
Efek samping
Gejala ekstrapiramidal adalah masalah yang paling mengganggu. Gejala ini paling sering muncul pada penggunaan piperazin, fenotiazin (flufenazin, perfenazin, proklorperazin, dan trifluoperazin), butiropenon (benperidol dan haloperidol) serta sediaan bentuk depot. Gejala ini mudah dikenali tetapi tidak dapat diperkirakan secara akurat karena bergantung pada dosis, jenis obat, dan kondisi individual pasien. Gejala ekstrapiramidal termasuk di antaranya:
- Gejala parkinson (termasuk tremor) yang akan timbul lebih sering pada orang dewasa atau lansia dan dapat muncul secara bertahap.
- Distonia (pergerakan wajah dan tubuh yang tidak normal) dan diskinesia, yang lebih sering terjadi pada anak atau dewasa muda dan muncul setelah pemberian hanya beberapa dosis.
- Akatisia (restlessness) yang secara karakteristik muncul setelah pemberian dosis awal yang besar dan mungkin memperburuk kondisi yang sedang diobati.
- Tardive dyskinesia (ritmik, pergerakan lidah, wajah, rahang yang tidak disadari [invuntary movements of tongue, face and jaw]) yang biasanya terjadi pada terapi jangka panjang atau dengan pemberian dosis yang tinggi, tetapi dapat juga terjadi pada terapi jangka pendek dengan dosis rendah. Tardive dyskinesia sementara dapat timbul setelah pemutusan obat.
Gejala parkinson tidak akan muncul jika obat dihentikan dan kemunculannya juga dapat ditekan dengan pemberian obat antimuskarinik (bab 4.9.2). Bagaimanapun, pemberian secara rutin dari obat tersebut tidak dibenarkan karena tidak semua pasien memberikan efek dan karena obat–obat tersebut dapat memperburuk tardive dyskinesia.
Tardivedyskinesia sebaiknya menjadi perhatian utama karena mungkin dapat bersifat permanen walau obat sudah dihentikan dan upaya pengobatan seringkali tidak efektif. Namun demikian, penghentian obat pada tanda–tanda awal terjadinya tardive dyskinesia (gerakan motorik otot lidah yang halus [fine vermicular movements of the tongue]) dapat menghentikan terjadinya tardive dyskinesia secara penuh. Tardive dyskinesia muncul hampir sering, terutama pada lansia, dan pengobatan harus hati–hati dan ditinjau ulang secara rutin.
Hipotensi dan gangguan pada pengaturan temperatur adalah efek samping terkait dosis dan dapat menyebabkan jatuh yang berbahaya (dangerous falls) dan hipotermia atau hipertermia pada lansia.
Sindrom keganasan neuroleptik (hipertermia, fluktuasi tingkat kesadaran, kekauan otot, disfungsi otonom dengan palort, takikardi, tekanan darah yang labil, berkeringat dan inkontinensia urin) jarang terjadi tetapi merupakan efek samping dengan potensi yang fatal dari beberapa obat. Penghentian pemberian antipsikotik merupakan hal yang penting karena tidak ada pengobatan yang terbukti efektif, tetapi pendinginan/cooling, bromokriptin, dan dantrolen telah digunakan. Sindrom ini yang biasanya terjadi selama 5–7 hari setelah penghentian pengobatan, mungkin terjadi setelah penggunaan sediaan depot. Efek samping lainnya termasuk: mengantuk, agitasi, insomnia dan kegembiraan, konvulsi, pusing, sakit kepala, bingung, gangguan gastro-intestinal, kongesti nasal, gejala anti muskarinik (seperti mulut kering, konstipasi, micturition difficulty, dan pandangan kabur); gejala kardiovaskular (seperti hipotensi, takikardi, dan aritmia); perubahan EKG (kasus kematian mendadak pernah terjadi); efek endrokin seperti gangguan menstruasi, galaktorea, ginekomastia, impotensi, dan peningkatan berat badan; diskrasia darah (seperti agranulositosis dan lekopenia), fotosensitisasi, sensitisasi kontak, dan ruam kulit serta jaundice (termasuk kolestatik); kekeruhan kornea dan lensa mata, dan pigmentasi keunguan pada kulit, kornea konjungtiva dan retina.
Dosis berlebihan: untuk keracunan fenotiazin dan senyawa sejenis lihat pada Penanganan Darurat pada Keracunan.
KLASIFIKASI ANTIPSIKOSIS
Derivat fenotiazin dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar.
Kelompok 1: klorpromazin, levopromazin (metotrimeprazin), dan promazin, secara umum ditandai dengan efek sedatif yang kuat, dan efek samping antimuskarinik sedang serta efek samping ekstrapiramidal.
Kelompok 2: perisiazin dan pipotiazin, secara umum ditandai dengan sifat sedatif yang sedang, tetapi efek samping efek esktrapiramidal yang lebih kecil dibanding kelompok 1 dan 3.
Kelompok 3: flufenazin, perfenazin, proklorperazin, dan trifluoperazin, ditandai secara umum oleh efek sedatif yang lebih sedikit, efek antimuskarinik yang kecil, tetapi efek ekstrapiramidal yang lebih besar dibanding kelompok 1 dan 2.
Obat dari kelompok kimia yang lain cenderung menyerupai fenotiazin pada kelompok 3. Termasuk di dalamnya butirofenon (benperidol dan haloperidol); difenilbutilpiperidin (pimozid), tioksantin (flupentiksol dan zuklopentiksol) serta benzamid tersubtitusi (suliprid) Untuk rincian dari obat antipsikotik terbaru amisulprid, klozapin, olanzapin, kuetiapin, risperidon, sertindol, dan zotepin, lihat pada Antipsikosis atiptikal.
PEMILIHAN
Seperti diindikasikan di atas, berbagai obat berbeda pada efek utama dan efek sampingnya. Pemilihan obat dipengaruhi oleh tingkat sedasi yang diinginkan, dan kerentanan pasien terhadap efek samping ekstrapiramidal. Bagaimanapun, perbedaan antara obat antispikotik merupakan hal yang tidak begitu penting dibanding variasi respon pasien terhadap obat; lebih lagi, toleransi terhadap efek sekunder seperti sedasi biasa terjadi. Antipsikosis atipikal mungkin tepat jika efek samping ekstrapiramidal menjadi pertimbangan utama yang diperhatikan (lihat pada Antipsikosis di bawah). Klozapin digunakan pada skizofrenia jika antipiskosis lain tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi. Peresepan lebih dari satu antipsikosis pada waktu yang bersamaan tidak direkomendasikan; karena dapat menimbulkan bahaya dan tidak ada bukti nyata yang menyatakan efek samping dapat diminimalkan. Klorpromazin masih digunakan secara luas meskipun efek samping yang luas terkait dengan penggunaan obat ini. Obat ini memiliki efek sedasi dan berguna untuk mengendalikan pasien beringas (violent) tanpa menyebabkan pasien kehilangan kesadaran. Keadaan agitasi pada lansia dapat dikendalikan tanpa menimbulkan kebingungan, satu dosis 10 hingga 25 mg sekali atau dua kali sehari biasanya sudah memadai.
Flupentiksol dan pimozid efek sedatifnya lebih sedikit dibanding klorpromazin. Sulpirid pada dosis tinggi dapat mengendalikan gejala positip florid, tetapi pada dosis yang lebih rendah memiliki efek jaga pada pasien skizofrenia putus obat yang apatis. Flufenazin, haloperidol, dan trifluoperazin juga bermanfaat namun penggunaannya dibatasi oleh tingginya kejadian gejala ekstrapiramidal. Haloperidol lebih disukai karena mengendalikan psikosis hiperaktif dengan cepat. Obat ini menyebabkan hipotensi yang lebih kecil dibanding klorpromazin dan oleh karena itu obat ini umum digunakan untuk agitasi dan kegelisahan pada lansia, walaupun risiko terjadinya efek samping ekstrapiramidal tinggi.
Promazin tidak cukup aktif melalui oral untuk digunakan sebagai obat antipsikotik; obat ini telah digunakan untuk mengatasi agitasi dan kegelisahan pada lansia (lihat kegunaan lainnya di bawah ini).
KEGUNAAN LAIN
Mual dan muntah (bab 4.6), khorea, tiks (bab 4.9.3), dan cegukan yang sulit diatasi (lihat pada Klorpromazin HCl dan Haloperidol). Benperidol digunakan pada orang yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang tetapi efeknya ini belum diketahui dengan pasti; lihat juga pada bab 6.4.2 untuk penggunaan siproteron asetat.
Agitasi psikomotor, agitasi dan kegelisahan pada lansia, sebaiknya diselidiki penyebab utamanya; keadaan ini dapat diatasi dengan dosis rendah klorpromazin atau haloperidol jangka pendek. Penggunaan promazin untuk agitasi dan kegelisahan pada lansia telah jarang dilakukan. Olanzapin dapat efektif untuk agitasi dan kegelisahan pada lansia.
Kesetaraan dosis antipsikosis oral
Kesetaraan ini hanya dimaksudkan sebagai panduan umum; instruksi dosis individual juga sebaiknya diperiksa; pasien sebaiknya dimonitor secara hati–hati terhadap setiap perubahan selama pengobatan.
Antipsikosis
|
Dosis per hari
|
Klorpromazin
|
100 mg
|
Klozapin
|
50 mg
|
Haloperidol
|
2–3 mg
|
Pimozid
|
2 mg
|
Risperidon
|
0.5–1 mg
|
Sulpirid
|
200 mg
|
Trifluoperazin
|
5 mg
|
Penting. Kesetaraan ini tidak boleh diekstrapolasikan melebihi dosis maksimum obat. Dosis yang lebih tinggi membutuhkan titrasi yang sangat hati-hati oleh dokter spesialis dan kesetaraan dosis di atas ini mungkin saja tidaklah sesuai |
Dosis. Setelah periode awal stabilisasi, padakebanyakan pasien, dosis oral total selama satu hari diberikan sebagai dosis tunggal.
|